Monday, March 10, 2014

Mempertanyakan Guna Pendidikan

Postingan ini pertama kali ditulis 2 Januari 2010, direvisi 4 Mei 2010, dan baru di posting 10 Maret 2014 jam 14.10 WIB saat ini..
Enjoy! J



Mempertanyakan Guna Pendidikan
Sejak diumumkannya bahwa tingkat kelulusan SMA tahun ini menurun dibanding tahun 2009 lalu, perihal pendidikan di Indonesia kembali hangat diperbincangkan. Katanya, ada yang harus dibenahi, ada yang harus diluruskan. Bagi yang akan dan sedang berstatus mahasiswa, kalimat yang sering mampir adalah, "Cepat lulus ya nak.. Dapat IPK tinggi, supaya nanti gampang cari kerja dan gajinya besar.. Jangan aneh-aneh di kampus..." Kalimat tersebut adalah lanjutan dari sejak SD, SMP, dan SMA yang mana tuntutannya adalah mendapat SMP dan SMA yang bergengsi supaya mudah masuk PTN untuk kemudian mudah mencari pekerjaan dan mendapat gaji besar.

Itukah guna pendidikan?

Realita yang terjadi di masyarakat sekarang terkait pendidikan tinggi dan pengangguran adalah tingginya pengangguran dari kalangan Sarjana. Agus Wibowo dalam tulisannya "Menyiasati Pengangguran Bergelar" menuliskan bahwa guna menekan kenaikan jumlah pengangguran terdidik, tidak ada pilihan bagi perguruan tinggi (PT) dan dunia pendidikan untuk mengubah paradigma. Jika semula lebih menekankan pada aspek kecerdasan konseptual (kognitif), kini harus dibarengi penanaman jiwa kewirausahaan (entrepreneurship). Pasalnya, berbagai penelitian menunjukkan keberhasilan mahasiswa bukan ditentukan kepandaian yang dipunyai, tetapi oleh faktor lainnya yang sangat penting. Singkatnya, tingkat kecerdasan hanya menyumbang sekitar 20%-30%, sementara jiwa kewirausahaan yang didukung kecerdasan sosial justru menyumbang 80% keberhasilan anak di kemudian hari.

Pendidikan saat ini dijadikan seperti investasi untuk jaminan finansial di masa depan. Mengenyam pendidikan menjadi terasa sama saja dengan menanamkan modal uang di suatu tempat dengan harapan mendapatkan keuntungan lebih banyak dari saat sebelum diinvestasikan, hanya berbeda lembaga saja. Dengan modal sekecil-kecilnya, mendapat untung tertentu (kalau bisa sebesar-besarnya). Mungkin itulah juga yang menyebabkan banyak orang mengejar beasiswa, walaupun kondisi keuangannya masih mampu untuk membayar pendidikan. Tetapi dengan mendapat beasiswa, maka uangnya bisa diinvestasikan dalam bentuk lain (atau memang sengaja hanya untuk mendapat prestis “penerima beasiswa”, uangnya tetap diberikan kepada pelajar yang membutuhkan). Pendidikan sekarang malah menghasilkan patokan kesuksesan dinilai dengan setinggi apa jabatan seseorang, seberapa banyak jumlah harta kekayaannya.

Konsep pendidikan di Indonesia sekarang pun terbukti melemahkan status manusia sebagai makhluk sosial. Pendidikan membuat seseorang tidak lagi peka dan peduli terhadap permasalahan yang dihadapi orang lain diluar dirinya. Pendidikan saat ini hanya menyibukkan manusia-manusianya untuk memikirkan bagaimana dirinya bisa aman dan tetap berada dalam zona nyaman.

Selain menjadikan egois, pendidikan di Indonesia juga hanya sekedar mencetak manusia-manusia untuk siap (diper)kerja(kan). Terbukti dengan selalu meluapnya pengunjung di acara-acara penjaringan pelamar pekerjaan, seperti career days, job fair, dan sejenisnya.

Pendidikan seharusnya menjadikan seseorang sebagai problem solver atas segala permasalahan bangsa dan negara, bukan problem speaker apalagi problem maker. Karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain di sekitarnya, dan hanya manusia-manusia yang bermanfaat itulah yang akan tercata dalam sejarah. Indonesia memiliki Soekarno, Bung Hatta, M. Natsir, Munir, Soe Hok Gie, Wiji Thukul, Marsinah, RA Kartini, dan nama lainnya yang dikenang karena kontribusinya bagi orang-orang disekitarnya. Tak hanya bermanfaat untuk diri dan keluarganya, tetapi juga bangsa dan negara. Lalu, pendidikan macam apakah yang mampu menghasilkan orang-orang seperti mereka?


Kita semua perlu merenungi, untuk apa sebenarnya guna pendidikan? Memperkaya manusia itu? Demi menaikkan gengsi? Atau memanusiakan manusia, mengembalikan fungsi manusia kepada hakikatnya? Setelah kita menemukan apa guna pendidikan, barulah kita dapat mencari sistem yang tepat untuk membawa kita pada tujuan pendidikan tersebut. Bukan dengan sering mengganti sistem yang satu dengan yang lain, tanpa memahami apa yang ingin dicapai dari sistem pendidikan tersebut.

2 comments:

  1. dan baru saja sore terakhir, bertemu dengan seorang dosen tokoh di sebuah Fakultas di UGM yang mengatakan; "saya juga dulunya miskin, kalau saja nggak kuliah ...." :')

    ironis memang, apalagi jika ternyata mendapatkan bukti bahwa tanpa pendidikan yang disediakan pemerintah pun seseorang anak mampu 'melampaui usia'nya

    nampaknya juga perlu ada kesadaran yang diuraikan, bahwa TK-SD-SMP-SMA-Kuliah memang Pendidikan, tapi Pendidikan tidak melulu TK-SD-SMP-SMA-Kuliah

    ReplyDelete
  2. Kalo TK-SD-SMP-SMA menurutku ngga harus ikut, bisa juga home-schooling, cuman emang musti serius bikin plannya..

    Orang mikirnya, "sekolah tinggi biar bisa dapet uang banyak", lahh kalo gitu mah buka bisnis.. Mungkin itu kenapa jual-beli ijazah, jasa pembuatan skripsi, tesis, disertasi jadi ada.. :/

    ReplyDelete