Postingan ini pertama
kali ditulis 2 Januari 2010, direvisi 4 Mei 2010, dan baru di
posting 10 Maret 2014 jam 14.10 WIB saat ini..
Enjoy!
J
Mempertanyakan
Guna Pendidikan
Sejak diumumkannya bahwa tingkat
kelulusan SMA tahun ini menurun dibanding tahun 2009 lalu, perihal pendidikan
di Indonesia kembali hangat diperbincangkan. Katanya, ada yang harus dibenahi,
ada yang harus diluruskan. Bagi yang akan dan sedang berstatus mahasiswa,
kalimat yang sering mampir adalah, "Cepat lulus ya nak.. Dapat IPK tinggi,
supaya nanti gampang cari kerja dan gajinya besar.. Jangan aneh-aneh di
kampus..." Kalimat tersebut adalah lanjutan dari sejak SD, SMP, dan SMA
yang mana tuntutannya adalah mendapat SMP dan SMA yang bergengsi supaya mudah
masuk PTN untuk kemudian mudah mencari pekerjaan dan mendapat gaji besar.
Itukah guna pendidikan?
Realita yang terjadi di
masyarakat sekarang terkait pendidikan tinggi dan pengangguran adalah tingginya
pengangguran dari kalangan Sarjana. Agus Wibowo dalam tulisannya
"Menyiasati Pengangguran Bergelar" menuliskan bahwa guna menekan
kenaikan jumlah pengangguran terdidik, tidak ada pilihan bagi perguruan tinggi
(PT) dan dunia pendidikan untuk mengubah paradigma. Jika semula lebih
menekankan pada aspek kecerdasan konseptual (kognitif), kini harus dibarengi
penanaman jiwa kewirausahaan (entrepreneurship). Pasalnya, berbagai
penelitian menunjukkan keberhasilan mahasiswa bukan ditentukan kepandaian yang
dipunyai, tetapi oleh faktor lainnya yang sangat penting. Singkatnya, tingkat
kecerdasan hanya menyumbang sekitar 20%-30%, sementara jiwa kewirausahaan yang
didukung kecerdasan sosial justru menyumbang 80% keberhasilan anak di kemudian
hari.
Pendidikan saat ini dijadikan
seperti investasi untuk jaminan finansial di masa depan. Mengenyam pendidikan
menjadi terasa sama saja dengan menanamkan modal uang di suatu tempat dengan
harapan mendapatkan keuntungan lebih banyak dari saat sebelum diinvestasikan,
hanya berbeda lembaga saja. Dengan modal sekecil-kecilnya, mendapat untung
tertentu (kalau bisa sebesar-besarnya). Mungkin itulah juga yang menyebabkan
banyak orang mengejar beasiswa, walaupun kondisi keuangannya masih mampu untuk
membayar pendidikan. Tetapi dengan mendapat beasiswa, maka uangnya bisa
diinvestasikan dalam bentuk lain (atau memang sengaja hanya untuk mendapat prestis
“penerima beasiswa”, uangnya tetap diberikan kepada pelajar yang membutuhkan).
Pendidikan sekarang malah menghasilkan patokan kesuksesan dinilai dengan
setinggi apa jabatan seseorang, seberapa banyak jumlah harta kekayaannya.
Konsep pendidikan di Indonesia
sekarang pun terbukti melemahkan status manusia sebagai makhluk sosial.
Pendidikan membuat seseorang tidak lagi peka dan peduli terhadap permasalahan
yang dihadapi orang lain diluar dirinya. Pendidikan saat ini hanya menyibukkan
manusia-manusianya untuk memikirkan bagaimana dirinya bisa aman dan tetap
berada dalam zona nyaman.
Selain menjadikan egois,
pendidikan di Indonesia juga hanya sekedar mencetak manusia-manusia untuk siap
(diper)kerja(kan). Terbukti dengan selalu meluapnya pengunjung di acara-acara
penjaringan pelamar pekerjaan, seperti career days, job fair, dan
sejenisnya.
Pendidikan seharusnya menjadikan
seseorang sebagai problem solver atas segala permasalahan bangsa dan
negara, bukan problem speaker apalagi problem maker. Karena
sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain di sekitarnya, dan
hanya manusia-manusia yang bermanfaat itulah yang akan tercata dalam sejarah.
Indonesia memiliki Soekarno, Bung Hatta, M. Natsir, Munir, Soe Hok Gie, Wiji
Thukul, Marsinah, RA Kartini, dan nama lainnya yang dikenang karena
kontribusinya bagi orang-orang disekitarnya. Tak hanya bermanfaat untuk diri
dan keluarganya, tetapi juga bangsa dan negara. Lalu, pendidikan macam apakah
yang mampu menghasilkan orang-orang seperti mereka?
Kita semua perlu merenungi, untuk
apa sebenarnya guna pendidikan? Memperkaya manusia itu? Demi menaikkan gengsi?
Atau memanusiakan manusia, mengembalikan fungsi manusia kepada hakikatnya?
Setelah kita menemukan apa guna pendidikan, barulah kita dapat mencari sistem
yang tepat untuk membawa kita pada tujuan pendidikan tersebut. Bukan dengan
sering mengganti sistem yang satu dengan yang lain, tanpa memahami apa yang
ingin dicapai dari sistem pendidikan tersebut.
dan baru saja sore terakhir, bertemu dengan seorang dosen tokoh di sebuah Fakultas di UGM yang mengatakan; "saya juga dulunya miskin, kalau saja nggak kuliah ...." :')
ReplyDeleteironis memang, apalagi jika ternyata mendapatkan bukti bahwa tanpa pendidikan yang disediakan pemerintah pun seseorang anak mampu 'melampaui usia'nya
nampaknya juga perlu ada kesadaran yang diuraikan, bahwa TK-SD-SMP-SMA-Kuliah memang Pendidikan, tapi Pendidikan tidak melulu TK-SD-SMP-SMA-Kuliah
Kalo TK-SD-SMP-SMA menurutku ngga harus ikut, bisa juga home-schooling, cuman emang musti serius bikin plannya..
ReplyDeleteOrang mikirnya, "sekolah tinggi biar bisa dapet uang banyak", lahh kalo gitu mah buka bisnis.. Mungkin itu kenapa jual-beli ijazah, jasa pembuatan skripsi, tesis, disertasi jadi ada.. :/